Pejuang emansipasi wanita?
Sebagai pejuang dan
pahlawan emansipasi wanita, sungguh kita
sangat bersyukur atas perjuangan tersebut dan sekaligus berbanggga melihat kesetaraan
kaum perempuan dengan laki-laki. Tetapi dari
dampak dari persamaan tersebut itu juga melahirkan persoalan baru.
Kaum perempuan begitu
maju sehingga kewajiban pokok sebagai
mahluk Tuhan yang di takdirkan untuk sebagai pendamping laki laki untuk saling
melengkapi bukan saling bersaing, saling mendahului.
Seperti dalam
ungkapannya bahwa bukan sebagai apa. Tetapi bagaimana cara pandang dan mensikapi menyangkut peran dan posisi masing masing. Sehingga
tercipta keharmonisan rumah tangga, pekerjaan, karir, lingkungan masyarakat. Mengenai
Biografi dan Profil R.A Kartini, seperti yang dikutif di http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-ra-kartini.html
beliau lahir pada tanggal 21 April tahun 1879
di Kota Jepara, Hari kelahirannya itu kemudian diperingati sebagai Hari
Kartini untuk menghormati jasa-jasanya pada bangsa Indonesia.
Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan oleh sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya, gelar itu sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu) menurut tradisi Jawa. Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati jepara, beliau ini merupakan kakek dari R.A Kartini. Ayahnya R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala itu sebagai bupati Jepara kala Kartini dilahirkan. Ibu kartini yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI, bahkan ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya berasal dari kerajaan Majapahit. Ibu R.A Kartini yaitu M.A. Ngasirah sendiri bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja, oleh karena itu peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan juga, hingga akhirnya ayah Kartini kemudian mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu. |
R.A Kartini
sendiri memiliki saudara berjumlah 11 orang yang terdiri dari saudara kandung
dan saudara tiri. Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia merupakan anak
perempuan tertua dari 11 bersaudara. Sebagai seorang bangsawan, R.A Kartini
juga berhak memperoleh pendidikan.
Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini kecil di ELS (Europese Lagere School).
Disinilah Kartini kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga
ia berusia 12 tahun sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak perempuan
harus tinggal dirumah untuk 'dipingit'.
Pemikiran-Pemikiran R.A Kartini Tentang Emansipasi Wanita
Meskipun berada di rumah, R.A Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau
surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda sebab beliau juga fasih
dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan
pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta
buku-buku yang ia baca.
Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi
sebab dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau
memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.
R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa
yang menjadi langganannya yang berbahasa belanda, di usiannya yang ke 20, ia
bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille
Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran
feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, selain itu ia juga membaca buku
karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang
cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan, R.A Kartini memberi perhatian
khusus pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa
dan wanita pribumi.
Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi
menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta
kesetaraan hukum.
Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai
kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu
lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga
mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan
pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.
Kartini menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit, tidak
bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang
kebebasan perempuan.
Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat
menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai
emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi olah Kartini, dianggap sebagai hal
baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan
Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan,
peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme.
Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa
laki-laki dapat berpoligami, dan mengapa mengapa kitab suci itu harus dibaca
dan dihafal tanpa perlu kewajiban untuk memahaminya.
Teman wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle "Stella"
Zeehandelaar juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh R.A
Kartini. Sejarah mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi
seorang guru sesuai dengan cita-cita namun ia dilarang untuk melanjutkan
studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke Negeri Belanda.
Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat
melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di Batavia atau pun kuliah
di negeri Belanda meskipun ketika itu ia menerima beasiswa untuk belajar kesana
sebab pada tahun 1903 pada saat R.A Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia
dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan
seorang bangsawan dan juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri. Meskipun begitu, suami R.A Kartini
memahami apa yang menjadi keinginan R.A KArtini sehingga ia kemudian diberi
kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita pertama yang kemudian berdiri di
sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang kemudian sekarang dikenal
sebagai Gedung Pramuka.
Pernikahan R.A Kartini Hingga Wafatnya
Dari pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, R.A Kartini kemudian melahirkan anak bernama
Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904, Namun
miris, beberapa hari kemudian setelah melahirkan anaknya yang pertama, R.A
Kartini kemudian wafat pada tanggal 17 September 1904 di usianya yang masih
sangat muda yaitu 24 tahun. Beliau kemudian dikebumikan di Desa Bulu, Kabupaten
Rembang.
Berkat perjuangannya kemudian
pada tahun 1912, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang
kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon serta daerah
lainnya. Sekolah tersebut kemudian diberi nama "Sekolah Kartini"
untuk menghormati jasa-jasanya. Yayasan Kartini ini keluarga Van Deventer,
seorang tokoh Politik Etis di era kolonial Belanda.
Terbitnya Buku 'Habis Gelap
Terbitlah Terang'
Ada yang menduga bahwa J.H.
Abendanon, melakukan rekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini didasarkan
pada buku Kartini yang terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan
politik etis di Hindia Belanda ketika itu, dimana J.H Abendanon sendiri
termasuk yang memiliki kepentingan dan mendukung pelaksanaan politik etis dan
kala itu ia juga menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan
Hindia Belanda ketika itu.
Sepeninggal R.A
Kartini, kemudian seorang pria belanda bernama J.H. Abendanon yang ketika itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda mulai
mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis oleh R.A Kartini ketika ia aktif
melakukan korespondensi dengan teman-temannya yang berada di Eropa ketika itu.
Dari situ kemudian
disusunlah buku yang awalnya berjudul 'Door Duisternis tot Licht' yang kemudian
diterjemahkan dengan judul Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang terbit pada tahun
1911. Buku tersebut dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan kelima
terdapat surat-surat yang ditulis oleh Kartini.
Pemikiran-pemikiran
yang diungkapkan oleh Kartini kemudian banyak menarik perhatian masyarakat
ketika itu terutama kaum Belanda sebab yang menulis surat-surat tersebut adalah
wanita pribumi.
Pemikirannya banyak
mengubah pola pikir masyarakat belanda terhadap wanita pribumi ketika itu.
Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala
itu seperti W.R Soepratman yang kemudian menbuat lagu yang berjudul 'Ibu Kita
Kartini'.
Presiden Soekarno
sendiri kala itu mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang berisi penetapan
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Soekarno juga menetapkan hari
lahir Kartini, yakni pada tanggal 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini
sampai sekarang ini.
Munculnya
Perdebatan Surat-Surat Yang Ditulis Oleh Kartini. Selain itu penetapan tanggal
kelahiran Kartini sebagai hari besar juga banyak diperdebatkan. Pihak yang tidak
begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja,
namun merayakannya bersama dengan hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih, sebab masih ada pahlawan wanita
lain yang tidak kalah hebat perjuangannya dengan Kartini seperti Dewi Sartika,
Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain. Menurut sebagian
kalangan, wilayah perjuangan Kartini itu hanya di Jepara dan Rembang saja,
Kartini juga tidak pernah mengangkat senjata melawan penjajah kolonial.
0 Comments
isi disini